Jeritan Asa di Dunia Pendidikan Indonesia

Jeritan Asa di Dunia Pendidikan Indonesia
Foto oleh Kemendikbudristek

"Ing Ngarsa Sung Tuludha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani"

Prinsip yang semakin tergerus.

Jakarta - Indonesia baru saja memperingati hari kemerdekaannya yang ke 79 tahun pada bulan agustus ini namun, masih sangat banyak rakyatnya yang menjerit kemerdekaan tersebut hanyalah hal yang semu dan hanyalah siasat untuk masalah-masalah berikutnya yang terus menerus bertambah. Berbagai masalah muncul serta menjadi bola panas yang semakin menambah sulit untuk menaikan derajat kelayakan kehidupan bagi masyarakat-masyarakat seiring berjalannya waktu. Masalah-masalah tersebut mulai menjangkit sistem-sistem dan banyak aset negara yang vital, meliputi instabilitas politik, pekatnya korupsi-kolusi-nepotisme, perekonomian yang lemah, dunia sosial yang rapuh dipenuhi akan ketidak-sejahteraan, dan aspek vital lainnya. Walaupun begitu, terdapat solusi yang bisa menyelesaikan semua masalah tersebut, yaitu para “tunas bangsa” yang penuh akan gairah nasionalismenya dan potensinya untuk terus melakukan yang terbaik kedepannya. Namun, solusi tersebut kian tergerus oleh masalah dalam dunia pendidikan indonesia yang terus berkembang semakin menghalangi para pelajar dan generasi muda untuk mengasah potensinya. 

Tumpukan masalah bergerak menjangkit dunia pendidikan sebagai suatu organ yang tertata. Dimulai dari hulu dimana para fasilitator dalam dunia pendidikan, yaitu Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai perpanjangan tangan dari Pemerintah Republik Indonesia yang diberikan tugas untuk membangun sistem pendidikan di negara kita yang seharusnya menjadi makin menjangkau kalangan-kalangan masyarakat yang kurang mampu. Dalam menjalankan fungsinya, banyak pihak menilai kinerja Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia dan jajarannya masih jauh dari kata maksimal, dan cenderung mendapatkan “rapor merah” di berbagai lembaga yang mengawasi jalannya dunia pendidikan indonesia. 

Banyaknya kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak realistis dan memiliki standar-standar yang tinggi, mengakibatkan banyaknya pelajar yang kesulitan untuk melanjutkan hak atas pendidikannya. Seperti domino yang jatuh berkesinambungan, akan banyak pelajar yang juga tunas bangsa tidak dapat meraih cita-citanya.  Dimulai dari meningkatnya jumlah pengangguran, tenaga kerja yang bermutu rendah dan rentan eksploitasi, kriminalitas yang dapat meningkat, masalah lainnya yang mengintai apabila dunia pendidikan indonesia terus bermazhab kepentingan kapitalisme saja.

Seutas Kisah Masa Kolonialisme

Pedihnya kolonialisme oleh Belanda yang mengakibatkan perubahan di seluruh aspek kehidupan masyarakat indonesia saat itu, termasuk pendidikan masyarakat yang sangat dikerdilkan hingga tersumbatnya teknologi dan invensi baru di belahan dunia untuk masuk ke wilayah indonesia saat itu. Hal tersebut berakibat berantai dengan langgengnya penjajahan yang dilakukan bangsa belanda terhadap rakyat indonesia. Kerdilnya pendidikan di indonesia, yang didukung oleh belanda dengan menghalang-halangi berbagai ahli dan filsuf untuk menyebarkan hal-hal yang bersifat keilmuan, baru menemukan titik cerah ketika munculnya doktrin “politik etis” pada akhir abad ke-19.

Setelah teguran yang keras dari para rakyatnya sendiri, pemerintah belanda akhirnya mulai mendirikan berbagai sekolah untuk kaum pribumi di indonesia. Pendidikan tersebut juga dibatasi hanya untuk segelintir bangsawan dan kawula pribumi indonesia yang harus memiliki kasta sosial yang tinggi, serta modal yang sangat padat. Dibatasinya pendidikan tersebut untuk kaum pribumi biasa yang tidak memiliki kasta maupun modal terus dilanjutkan oleh pemerintah belanda, hingga para “golongan terpelajar” sadar dan berperan langsung membentuk sekolah-sekolah sendiri untuk menyebarluaskan berbagai ilmu yang mereka dapatkan sebelumnya dalam pendidikan formal yang mereka dapatkan dari sekolah buatan pemerintah belanda.

Walaupun telah mengenyam pendidikan formal dari sekolah maupun institusi belanda, para pemuda-pemudi indonesia saat itu tetap saja tidak bebas dari cengkeraman kolonialisme. Pemerintah kolonial belanda membatasi secara ketat lingkup kerja dan tempat untuk mereka berkarya. Hingga pada akhirnya, mereka tidak lebih dari sebatas “pesuruh” maupun pelaksana daripada pemerintah kolonial yang mengeksploitasi tenaga mereka dengan upah yang lebih baik untuk seperempat manusia, menghukum para muda-mudi itu untuk memeras habis kekayaan negeri mereka sendiri. 

Perlakuan tersebut tentu menyebabkan banyaknya perlawanan dari muda-mudi tersebut dengan berbagai cara, diantaranya mendirikan sekolah sendiri, menebar propaganda kemerdekaan, pembangkangan terbuka terhadap pemerintah kolonial, serta aksi lainnya. Aksi pemaksaan tersebut, tentu saja terdapat beberapa pemuda yang lebih memilih untuk menjual dirinya secara sukarela kepada pemerintah kolonial untuk mendapatkan manfaat-manfaat dengan cara menindas bangsanya sendiri. Hancurnya moral para pemuda tersebut, kembali terjadi pada masa kini. Dimana intisari pendidikan berupa ilmu dikesampingkan, dan simbol berupa huruf menjadi target utama. Merealisasikan tong yang kosong, dan tak berguna. 


Sederet Kebobrokan Masa Kini

Dunia pendidikan di Indonesia mempunyai struktur yang bersambung hingga berdasar kepada konstitusinya. Klausa tujuan negara yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa,” terpatri dalam Pembukaan UUD 1945 yang dipertegas pada Pasal 28C dan 31 UUD 1945. Tercantumnya tujuan tersebut merupakan pemberian amanat rakyat kepada negara untuk memastikan pendidikan indonesia dapat benar-benar “mencerdaskan” kehidupan para rakyatnya, dimana pelaksana utama dari pemerintah adalah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek RI). 

Sebagai koordinator dan pelaksana utama pendidikan para tunas bangsa indonesia, performa Kemendikbud banyak dinilai kurang memuaskan dan terkadang “blunder” maupun kontroversial. Dimulai dengan Menterinya sendiri yaitu Nadiem Makarim, yang latar belakangnya berbasis di dunia bisnis terutama pada bidang financial technology (fintech) seperti Gojek yang merupakan hasil besutannya. Nadiem diragukan banyak pihak karena bukanlah orang yang tepat untuk menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), berbagai alasan menghampiri seperti tidak pernah ada pengalaman yang manajerial dalam melaksanakan institusi pendidikan, latar belakang dunia bisnis yang memiliki kecenderungan untuk mengubah institusi pendidikan sebagai suatu bisnis, serta dinilai pasif dan kurang responsif dalam menghadapi kepelikan dunia pendidikan indonesia. Secara lantang menyuarakan pendapatnya, mantan Wakil Presiden RI, Yusuf Kalla, menyampaikan kritik keras kepada nadiem yang menyebutnya tidak pernah datang ke daerah-daerah lainnya di indonesia, serta hanya pasif di kantornya.

Menurut Direktur Indonesia Political Watch (IPW), Ujang Komarudin, tindakan sang menteri setelah dilantik, yaitu memboyong dan menempatkan para kolega-koleganya yang berada di Amerika, menjadi staf khusus dan direktur jenderal dalam Kemendikbudristek merupakan langkah sangat pekat berbau KKN, terutama nepotisme. Ketiga penyakit yaitu Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), juga secara merata  menghantui Kemendikbudristek dan dunia pendidikan di indonesia. Dimulai dari korupsi yang menjangkiti dari tingkat para Kepala Sekolah yang merampok dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), hingga tingkat direktur jenderal, dimana stafnya melakukan modus kegiatan fiktif untuk mencuri anggaran, korupsi anggaran-anggaran fiktif dengan berbagai proyek pembangunan fasilitas di berbagai tingkat institusi pendidikan. Seirama dengan korupsi, kolusi juga sangat marak terjadi di dunia pendidikan dimulai dari tingkat sekolah dasar hingga ke jenjang perguruan tinggi. 

Kolusi di dunia pendidikan meliputi berbagai praktik, salah satu yang paling marak merupakan jual-beli kursi atau suap agar anak ditempatkan di sekolah/universitas tujuan. Ditangkapnya Rektor Universitas Lampung, Karomani, pada tahun 2022 merupakan salah satu contoh besar menjamurnya kolusi di Kemendikbudristek dan jajaran institusi pendidikan di indonesia. Tak mau kalah, nepotisme juga ikut menjadi duri dalam dunia pendidikan indonesia, dimulai dari kecurangan dengan tindakan “menitip anak” untuk mengelabui sistem zonasi dalam PPDB SMP-SMA, hingga ke tingkat perguruan tinggi, dimana pejabat-pejabat tertentu diduga mempunyai “slot” yang merupakan jalur ilegal untuk merekayasa dan menempatkan peserta didik yang biasanya memiliki hubungan keluarga di tempat mereka berdinas.

Atas kebobrokan ekosistem yang bersifat struktural tersebut, bukanlah berlebihan apabila output yang dihasilkan juga ikut bobrok. Kegiatan knowledge-transfer, yang berlangsung di dunia pendidikan tidak dapat berjalan dengan benar akibat pembalakan kewajiban-moral dari pada penyelenggara utama pendidikan tersebut, juga menjalar kepada para terdidik. Kemerosotan moral yang terjadi pada para pendidik maupun yang terdidik tidak dapat dibantah lagi, dengan banyaknya bukti yang telah muncul secara digital maupun terjadi di depan mata kepala kita sendiri. Betapa banyaknya tindakan melenceng dan patut dipidana dilakukan oleh para tenaga didik, mulai dari kasus KKN, asusila, kegiatan tak berakhlak lainnya yang mereka tunjukkan secara gamblang.

Kemerosotan moral tersebut juga turun kepada tunas bangsa yang mereka didik. Betapa seringnya kita dengar kasus kekerasan seksual, pemerkosaan, perundungan, penganiayaan dan segala jenis tindakan lainnya yang jauh dari nilai-nilai luhur dalam pancasila. Tergusurnya nilai-nilai moral dari pancasila tersebut dapat menjadi kerugian berantai bagi masa depan indonesia, terlebih yang menjadi korban adalah para tunas bangsa yang akan melanjutkan tongkat kepemimpinan penyelenggaraan negara ini kedepannya.


Selayak Pandang Yang Perlu Diperhatikan

 Tsunami masalah yang melanda dunia pendidikan di Indonesia harus segera dibenahi, terlebih karena masalah ini menjadikan masa depan bangsa sebagai taruhannya. Pendidikan sebagai suatu jendela untuk melihat dunia, sebagai upaya untuk menjadi manusia “merdeka,” harus terus dipertahankan dan dikembangkan. Sebagai bangsa yang besar, indonesia seharusnya sudah memimpin dan terdepan dalam aspek pendidikan yang merupakan aspek sentral dalam pembangunan suatu negara. Namun kenyataan berkata lain, para pekerja indonesia masih banyak menjadi bahan bakar “sweatshop,” dalam negeri maupun luar negeri. Rendahnya tingkat pendidikan dan moral yang merosot menjadikan reputasi Sumber Daya Manusia yang rendah di mata banyak pihak. Untuk mengubah hal tersebut, butuh revolusi besar di seluruh lingkup pendidikan di indonesia.

Berkaca pada sistem pendidikan indonesia yang struktural, perombakan haruslah dilakukan dimulai dari pemerintahan dan institusi-institusi pendidikan sendiri. Pada Rancangan Anggaran Pembelanjaan Negara (RAPBN) untuk tahun 2025, anggaran untuk pendidikan berjumlah hampir 20% dari jumlah total RAPBN. Jumlah yang besar tersebut merupakan salah satu langkah awal yang baik untuk merevolusi pendidikan di indonesia, dengan kapital yang besar akan lebih banyak program kerja dan pembenahan yang bisa dilakukan. Program tersebut dapat difokuskan untuk pemerataan pendidikan dengan membangun banyak sekolah baru, memperbaiki serta standarisasi kurikulum, lebih banyak beasiswa yang bahkan mencakup mereka yang kelas menengah, serta menambah banyak program lainnya yang memperbaiki dan merevolusi dunia pendidikan indonesia ke jenjang persaingan global.

Akan tetapi, perubahan tersebut juga harus dilengkapi dengan penyelenggara yang mendukung. Baik Kemendikbudristek dan institusi pendidikan lainnya, haruslah dibenahi dan dikelola dengan baik. Hal ini akan menjadi pekerjaan lanjutan rezim yang baru nanti, khususnya untuk memperhatikan hal-hal holistik dan memilih Menteri sesuai dengan bidang dan sepak terjang karirnya. Efisiensi regulasi juga harus dilakukan oleh Kemendikbudristek nantinya, jangan samapai ada institusi-institusi pendidikan yang bergerak semaunya tanpa adanya koordinasi dahulu, seperti menungkatkan taraf Uang Kuliah Tunggal (UKT), dengan alasan yang bahkan terkadang tidak masuk akal dengan output yang dihasilkan. Pengawasan terhadap pengelolaan anggaran dan pelaksanaan program kerja juga harus jauh diperketat dan lebih tegas daripada sebelumnya. Aparat penegak hukum harus bersifat keras dan tegas apabila menemukan “oknum” penyelenggara yang nakal, karena bila dibiarkan atau bahkan “dipelihara,” mereka akan mulai terorganisir dalam menggerogoti hal-hal yang menjadi masa depan bangsa ini kedepannya.

Bersambung juga dengan memaknai bahwasannya pendidikan bukan saja terkait dengan ilmu, tetapi juga moral dan akhlak. Kemerosotan moral yang terjadi pada pendidik maupun terdidik haruslah mendapat atensi utama untuk revolusi di dunia pendidikan. Untuk membentuk suatu pergerakan dan menciptakan hal-hal baru, diperlukan terlebih dahulu mesin yang bisa digunakan, dan dalam konsep manusia, hal tersebut adalah moral serta pikirannya. Apabila moral dan pikirannya dapat ia gunakan secara murni dan bijak, maka begitu juga dengan hasil dari hal yang ia kerjakan, dan apabila moral dan fikirannya kotor dan buruk, maka hasilnya pun akan tidak benar dan penuh kejahatan.

Oleh karena itu, Indonesia harus secara berani menghukum dan memberhentikan para pendidik yang moral dan akhlaknya sudah rusak, serta bisa meracuni para terdidiknya. Mereka yang diberi gelar “guru” haruslah pantas mendapatkan gelar tersebut berdasarkan ilmu maupun akhlak yang dimiliki, sesuai dengan prinsip “Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani” yang digaungkan oleh guru besar bangsa, Ki Hadjar Dewantara serta memegang teguh tujuan negara untuk "mencerdasakan kehidupan bangsa". Mereka, para guru, haruslah mumpuni dalam ilmu dan akhlak, serta bersifat tegas atau bahkan keras namun adil dalam memperlakukan para “tunas bangsa” yang dibawah naungan mereka.

Para tunas bangsa sendiri, dengan bantuan para guru haruslah siap dan ikhlas untuk menerima pengajaran mereka dan berlaku sebenar-benarnya sebagai seseorang yang “terpelajar”. Semua pihak, baik para guru maupun para tunas bangsa, haruslah mengingat kembali pahitnya hidup dalam kolonialisme dimana pendidikan sangatlah terbatas dan dapat dienyam oleh beberapa pihak saja. Mereka harus berjanji dan berusaha sebaik mungkin untuk menghindari pahitnya nasib leluhur mereka dalam belenggu penjajahan, dan salah satu upaya untuk menjauhi nasib tersebut, adalah menuntut ilmu, merawat moral, mencerdaskan bangsa agar terus data terus menerima indahnya sinar dunia dengan pengetahuan yang dimiliki. Semuanya harus ikhlas untuk terus berjuang, demi masa depan Indonesia.

Subscribe to mejadiskusi.id

Don’t miss out on the latest issues. Sign up now to get access to the library of members-only issues.
jamie@example.com
Subscribe